Sejarah Turunnya Al-Quran


Agama Islam, agama yang kita anut dan dianut oleh ratusan juta kaum Muslim di seluruh dunia, merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di akhirat kelak. Ia mempunyai satu sendi utama yang esensial: berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya. Allah berfirman, Sesungguhnya Al-Quran ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya (QS, 17:9).

Al-Quran memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariah, dan akhlak, dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsip mengenai persoalan-persoalan tersebut; dan Allah SWT menugaskan Rasul saw., untuk memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu: Kami telah turunkan kepadamu Al-Dzikr (Al-Quran) untuk kamu terangkan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir (QS 16:44).

Disamping keterangan yang diberikan oleh Rasulullah saw., Allah memerintahkan pula kepada umat manusia seluruhnya agar memperhatikan dan mempelajari Al-Quran: Tidaklah mereka memperhatikan isi Al-Quran, bahkan ataukah hati mereka tertutup (QS 47:24).

Mempelajari Al-Quran adalah kewajiban. Berikut ini beberapa prinsip dasar untuk memahaminya, khusus dari segi hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan. Atau, dengan kata lain, mengenai “memahami Al-Quran dalam Hubungannya dengan Ilmu Pengetahuan.”( Persoalan ini sangat penting, terutama pada masa-masa sekarang ini, dimana perkembangan ilmu pengetahuan demikian pesat dan meliputi seluruh aspek kehidupan.

Kekaburan mengenai hal ini dapat menimbulkan ekses-ekses yang mempengaruhi perkembangan pemikiran kita dewasa ini dan generasi-generasi yang akan datang. Dalam bukunya, Science and the Modern World, A.N. Whitehead menulis: “Bila kita menyadari betapa pentingnya agama bagi manusia dan betapa pentingnya ilmu pengetahuan, maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa sejarah kita yang akan datang bergantung pada putusan generasi sekarang mengenai hubungan antara keduanya.”6

Tulisan Whithead ini berdasarkan apa yang terjadi di Eropa pada abad ke-18, yang ketika itu, gereja/pendeta di satu pihak dan para ilmuwan di pihak lain, tidak dapat mencapai kata sepakat tentang hubungan antara Kitab Suci dan ilmu pengetahuan; tetapi agama yang dimaksudkannya dapat mencakup segenap keyakinan yang dianut manusia.

Demikian pula halnya bagi umat Islam, pengertian kita terhadap hubungan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan akan memberi pengaruh yang tidak kecil terhadap perkembangan agama dan sejarah perkembangan manusia pada generasi-generasi yang akan datang.
Periode Turunnya Al-Quran

Al-Quran Al-Karim yang terdiri dari 114 surah dan susunannya ditentukan oleh Allah SWT. dengan cara tawqifi, tidak menggunakan metode sebagaimana metode-metode penyusunan buku-buku ilmiah. Buku-buku ilmiah yang membahas satu masalah, selalu menggunakan satu metode tertentu dan dibagi dalam bab-bab dan pasal-pasal. Metode ini tidak terdapat di dalam Al-Quran Al-Karim, yang di dalamnya banyak persoalan induk silih-berganti diterangkan.

Persoalan akidah terkadang bergandengan dengan persoalan hukum dan kritik; sejarah umat-umat yang lalu disatukan dengan nasihat, ultimatum, dorongan atau tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam semesta. Terkadang pula, ada suatu persoalan atau hukum yang sedang diterangkan tiba-tiba timbul persoalan lain yang pada pandangan pertama tidak ada hubungan antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, apa yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 216-221, yang mengatur hukum perang dalam asyhur al-hurum berurutan dengan hukum minuman keras, perjudian, persoalan anak yatim, dan perkawinan dengan orang-orang musyrik.

Yang demikian itu dimaksudkan agar memberikan kesan bahwa ajaran-ajaran Al-Quran dan hukum-hukum yang tercakup didalamnya merupakan satu kesatuan yang harus ditaati oleh penganut-penganutnya secara keseluruhan tanpa ada pemisahan antara satu dengan yang lainnya. Dalam menerangkan masalah-masalah filsafat dan metafisika, Al-Quran tidak menggunakan istilah filsafat dan logika. Juga dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Yang demikian ini membuktikan bahwa Al-Quran tidak dapat dipersamakan dengan kitab-kitab yang dikenal manusia.

Tujuan Al-Quran juga berbeda dengan tujuan kitab-kitab ilmiah. Untuk memahaminya, terlebih dahulu harus diketahui periode turunnya Al-Quran. Dengan mengetahui periode-periode tersebut, tujuan-tujuan Al-Quran akan lebih jelas.

Para ulama ‘Ulum Al-Quran membagi sejarah turunnya Al-Quran dalam dua periode: (1) Periode sebelum hijrah; dan (2) Periode sesudah hijrah. Ayat-ayat yang turun pada periode pertama dinamai ayat-ayat Makkiyyah, dan ayat-ayat yang turun pada periode kedua dinamai ayat-ayat Madaniyyah. Tetapi, di sini, akan dibagi sejarah turunnya Al-Quran dalam tiga periode, meskipun pada hakikatnya periode pertama dan kedua dalam pembagian tersebut adalah kumpulan dari ayat-ayat Makkiyah, dan periode ketiga adalah ayat-ayat Madaniyyah. Pembagian demikian untuk lebih menjelaskan tujuan-tujuan pokok Al-Quran.
Periode Pertama

Diketahui bahwa Muhammad saw., pada awal turunnya wahyu pertama (iqra’), belum dilantik menjadi Rasul. Dengan wahyu pertama itu, beliau baru merupakan seorang nabi yang tidak ditugaskan untuk menyampaikan apa yang diterima. Baru setelah turun wahyu kedualah beliau ditugaskan untuk menyampaikan wahyu-wahyu yang diterimanya, dengan adanya firman Allah: “Wahai yang berselimut, bangkit dan berilah peringatan” (QS 74:1-2).

Kemudian, setelah itu, kandungan wahyu Ilahi berkisar dalam tiga hal. Pertama, pendidikan bagi Rasulullah saw., dalam membentuk kepribadiannya. Perhatikan firman-Nya: Wahai orang yang berselimut, bangunlah dan sampaikanlah. Dan Tuhanmu agungkanlah. Bersihkanlah pakaianmu. Tinggalkanlah kotoran (syirik). Janganlah memberikan sesuatu dengan mengharap menerima lebih banyak darinya, dan sabarlah engkau melaksanakan perintah-perintah Tuhanmu (QS 74:1-7).

Dalam wahyu ketiga terdapat pula bimbingan untuknya: Wahai orang yang berselimut, bangkitlah, shalatlah di malam hari kecuali sedikit darinya, yaitu separuh malam, kuranq sedikit dari itu atau lebih, dan bacalah Al-Quran dengan tartil (QS 73:1-4).

Perintah ini disebabkan karena Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu wahyu yang sangat berat (QS 73:5).

Ada lagi ayat-ayat lain, umpamanya: Berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat. Rendahkanlah dirimu, janganlah bersifat sombong kepada orang-orang yang beriman yang mengikutimu. Apabila mereka (keluargamu) enggan mengikutimu, katakanlah: aku berlepas dari apa yang kalian kerjakan (QS 26:214-216).

Demikian ayat-ayat yang merupakan bimbingan bagi beliau demi suksesnya dakwah.

Kedua, pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai sifat dan af’al Allah, misalnya surah Al-A’la (surah ketujuh yang diturunkan) atau surah Al-Ikhlash, yang menurut hadis Rasulullah “sebanding dengan sepertiga Al-Quran”, karena yang mengetahuinya dengan sebenarnya akan mengetahui pula persoalan-persoalan tauhid dan tanzih (penyucian) Allah SWT.

Ketiga, keterangan mengenai dasar-dasar akhlak Islamiah, serta bantahan-bantahan secara umum mengenai pandangan hidup masyarakat jahiliah ketika itu. Ini dapat dibaca, misalnya, dalam surah Al-Takatsur, satu surah yang mengecam mereka yang menumpuk-numpuk harta; dan surah Al-Ma’un yang menerangkan kewajiban terhadap fakir miskin dan anak yatim serta pandangan agama mengenai hidup bergotong-royong.

Periode ini berlangsung sekitar 4-5 tahun dan telah menimbulkan bermacam-macam reaksi di kalangan masyarakat Arab ketika itu. Reaksi-reaksi tersebut nyata dalam tiga hal pokok:
Segolongan kecil dari mereka menerima dengan baik ajaran-ajaran Al-Quran.
Sebagian besar dari masyarakat tersebut menolak ajaran Al-Quran, karena kebodohan mereka (QS 21:24), keteguhan mereka mempertahankan adat istiadat dan tradisi nenek moyang (QS 43:22), dan atau karena adanya maksud-maksud tertentu dari satu golongan seperti yang digambarkan oleh Abu Sufyan: “Kalau sekiranya Bani Hasyim memperoleh kemuliaan nubuwwah, kemuliaan apa lagi yang tinggal untuk kami.”
Dakwah Al-Quran mulai melebar melampaui perbatasan Makkah menuju daerah-daerah sekitarnya.
Periode Kedua

Periode kedua dari sejarah turunnya Al-Quran berlangsung selama 8-9 tahun, dimana terjadi pertarungan hebat antara gerakan Islam dan jahiliah. Gerakan oposisi terhadap Islam menggunakan segala cara dan sistem untuk menghalangi kemajuan dakwah Islamiah.

Dimulai dari fitnah, intimidasi dan penganiayaan, yang mengakibatkan para penganut ajaran Al-Quran ketika itu terpaksa berhijrah ke Habsyah dan para akhirnya mereka semua –termasuk Rasulullah saw.– berhijrah ke Madinah.

Pada masa tersebut, ayat-ayat Al-Quran, di satu pihak, silih berganti turun menerangkan kewajiban-kewajiban prinsipil penganutnya sesuai dengan kondisi dakwah ketika itu, seperti: Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu (agama) dengan hikmah dan tuntunan yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya (QS 16:125).

Dan, di lain pihak, ayat-ayat kecaman dan ancaman yang pedas terus mengalir kepada kaum musyrik yang berpaling dari kebenaran, seperti: Bila mereka berpaling maka katakanlah wahai Muhammad: “Aku pertakuti kamu sekalian dengan siksaan, seperti siksaan yang menimpa kaum ‘Ad dan Tsamud” (QS 41:13).

Selain itu, turun juga ayat-ayat yang mengandung argumentasi-argumentasi mengenai keesaan Tuhan dan kepastian hari kiamat berdasarkan tanda-tanda yang dapat mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti: Manusia memberikan perumpamaan bagi kami dan lupa akan kejadiannya, mereka berkata: “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-tulang yang telah lapuk dan hancur?” Katakanlah, wahai Muhammad: “Yang menghidupkannya ialah Tuhan yang menjadikan ia pada mulanya, dan yang Maha Mengetahui semua kejadian. Dia yang menjadikan untukmu, wahai manusia, api dari kayu yang hijau (basah) lalu dengannya kamu sekalian membakar.” Tidaklah yang menciptakan langit dan bumi sanggup untuk menciptakan yang serupa itu? Sesungguhnya Ia Maha Pencipta dan Maha Mengetahui. Sesungguhnya bila Allah menghendaki sesuatu Ia hanya memerintahkan: “Jadilah!”Maka jadilah ia (QS 36:78-82).

Ayat ini merupakan salah satu argumentasi terkuat dalam membuktikan kepastian hari kiamat. Dalam hal ini, Al-Kindi berkata: “Siapakah di antara manusia dan filsafat yang sanggup mengumpulkan dalam satu susunan kata-kata sebanyak huruf ayat-ayat tersebut, sebagaimana yang telah disimpulkan Tuhan kepada Rasul-Nya saw., dimana diterangkan bahwa tulang-tulang dapat hidup setelah menjadi lapuk dan hancur; bahwa qudrah-Nya menciptakan seperti langit dan bumi; dan bahwa sesuatu dapat mewujud dari sesuatu yang berlawanan dengannya.”7

Disini terbukti bahwa ayat-ayat Al-Quran telah sanggup memblokade paham-paham jahiliah dari segala segi sehingga mereka tidak lagi mempunyai arti dan kedudukan dalam rasio dan alam pikiran sehat.
Periode Ketiga

Selama masa periode ketiga ini, dakwah Al-Quran telah dapat mewujudkan suatu prestasi besar karena penganut-penganutnya telah dapat hidup bebas melaksanakan ajaran-ajaran agama di Yatsrib (yang kemudian diberi nama Al-Madinah Al-Munawwarah). Periode ini berlangsung selama sepuluh tahun, di mana timbul bermacam-macam peristiwa, problem dan persoalan, seperti: Prinsip-prinsip apakah yang diterapkan dalam masyarakat demi mencapai kebahagiaan? Bagaimanakah sikap terhadap orang-orang munafik, Ahl Al-Kitab, orang-orang kafir dan lain-lain, yang semua itu diterangkan Al-Quran dengan cara yang berbeda-beda?

Dengan satu susunan kata-kata yang membangkitkan semangat seperti berikut ini, Al-Quran menyarankan: Tidakkah sepatutnya kamu sekalian memerangi golongan yang mengingkari janjinya dan hendak mengusir Rasul, sedangkan merekalah yang memulai peperangan. Apakah kamu takut kepada mereka? Sesungguhnya Allah lebih berhak untuk ditakuti jika kamu sekalian benar-benar orang yang beriman. Perangilah! Allah akan menyiksa mereka dengan perantaraan kamu sekalian serta menghina-rendahkan mereka; dan Allah akan menerangkan kamu semua serta memuaskan hati segolongan orang-orang beriman (QS 9:13-14).

Adakalanya pula merupakan perintah-perintah yang tegas disertai dengan konsiderannya, seperti: Wahai orang-orang beriman, sesungguhnya minuman keras, perjudian, berhala-berhala, bertenung adalah perbuatan keji dari perbuatan setan. Oleh karena itu hindarilah semua itu agar kamu sekalian mendapat kemenangan. Sesungguhnya setan tiada lain yang diinginkan kecuali menanamkan permusuhan dan kebencian diantara kamu disebabkan oleh minuman keras dan perjudian tersebut, serta memalingkan kamu dari dzikrullah dan sembahyang, maka karenanya hentikanlah pekerjaan-pekerjaan tersebut (QS 5:90-91).

Disamping itu, secara silih-berganti, terdapat juga ayat yang menerangkan akhlak dan suluk yang harus diikuti oleh setiap Muslim dalam kehidupannya sehari-hari, seperti: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki satu rumah selain rumahmu kecuali setelah minta izin dan mengucapkan salam kepada penghuninya. Demikian ini lebih baik bagimu. Semoga kamu sekalian mendapat peringatan (QS 24:27).

Semua ayat ini memberikan bimbingan kepada kaum Muslim menuju jalan yang diridhai Tuhan disamping mendorong mereka untuk berjihad di jalan Allah, sambil memberikan didikan akhlak dan suluk yang sesuai dengan keadaan mereka dalam bermacam-macam situasi (kalah, menang, bahagia, sengsara, aman dan takut). Dalam perang Uhud misalnya, di mana kaum Muslim menderita tujuh puluh orang korban, turunlah ayat-ayat penenang yang berbunyi: Janganlah kamu sekalian merasa lemah atau berduka cita. Kamu adalah orang-orang yang tinggi (menang) selama kamu sekalian beriman. Jika kamu mendapat luka, maka golongan mereka juga mendapat luka serupa. Demikianlah hari-hari kemenangan Kami perganti-gantikan di antara manusia, supaya Allah membuktikan orang-orang beriman dan agar Allah mengangkat dari mereka syuhada, sesungguhnya Allah tiada mengasihi orang-orangyang aniaya (QS 3:139-140).

Selain ayat-ayat yang turun mengajak berdialog dengan orang-orang Mukmin, banyak juga ayat yang ditujukan kepada orang-orang munafik, Ahli Kitab dan orang-orang musyrik. Ayat-ayat tersebut mengajak mereka ke jalan yang benar, sesuai dengan sikap mereka terhadap dakwah. Salah satu ayat yang ditujukan kepada ahli Kitab ialah: Katakanlah (Muhammad): “Wahai ahli kitab (golongan Yahudi dan Nasrani), marilah kita menuju ke satu kata sepakat diantara kita yaitu kita tidak menyembah kecuali Allah; tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, tidak pula mengangkat sebagian dari kita tuhan yang bukan Allah.” Maka bila mereka berpaling katakanlah: “Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Muslim” (QS 3:64).
Dakwah menurut Al-Quran

Dan ringkasan sejarah turunnya Al-Quran, tampak bahwa ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan pertimbangan dakwah: turun sedikit demi sedikit bergantung pada kebutuhan dan hajat, hingga mana kala dakwah telah menyeluruh, orang-orang berbondong-bondong memeluk agama Islam. Ketika itu berakhirlah turunnya ayat-ayat Al-Quran dan datang pulalah penegasan dari Allah SWT: Hari ini telah Kusempurnakan agamamu dan telah Kucukupkan nikmat untukmu serta telah Kuridhai Islam sebagai agamamu (QS 5:3).

Uraian di atas menunjukkan bahwa ayat-ayat Al-Quran disesuaikan dengan keadaan masyarakat saat itu. Sejarah yang diungkapkan adalah sejarah bangsa-bangsa yang hidup di sekitar Jazirah Arab. Peristiwa-peristiwa yang dibawakan adalah peristiwa-peristiwa mereka. Adat-istiadat dan ciri-ciri masyarakat yang dikecam adalah yang timbul dan yang terdapat dalam masyarakat tersebut.

Tetapi ini bukan berarti bahwa ajaran-ajaran Al-Quran hanya dapat diterapkan dalam masyarakat yang ditemuinya atau pada waktu itu saja. Karena yang demikian itu hanya untuk dijadikan argumentasi dakwah. Sejarah umat-umat diungkapkan sebagai pelajaran/peringatan bagaimana perlakuan Tuhan terhadap orang-orang yang mengikuti jejak-jejak mereka.

Sebagai suatu perbandingan, Al-Quran dapat diumpamakan dengan seseorang yang dalam menanamkan idenya tidak dapat melepaskan diri dari keadaan, situasi atau kondisi masyarakat yang merupakan objek dakwah. Tentu saja metode yang digunakannya harus sesuai dengan keadaan, perkembangan dan tingkat kecerdasan objek tersebut. Demikian pula dalam menanamkan idenya, cita-cita itu tidak hartya sampai pada batas suatu masyarakat dan masa tertentu; tetapi masih mengharapkan agar idenya berkembang pada semua tempat sepanjang masa.

Untuk menerapkan idenya itu, seorang da’i tidak boleh bosan dan putus asa. Dan dalam merealisasikan cita-citanya, ia harus mampu menyatakan dan mengulangi usahanya walaupun dengan cara yang berbeda-beda. Demikian pula ayat-ayat Al-Quran yang mengulangi beberapa kali satu persoalan. Tetapi untuk menghindari terjadinya perasaan bosan, susunan kata-katanya –oleh Allah SWT– diubah dan dihiasi sehingga menarik pendengarannya. Bukankah argumentasi-argumentasi Al-Quran mengenai soal-soal yang dipaparkan dapat dipergunakan di mana, kapan dan bagi siapa saja, serta dalam situasi dan kondisi apa pun?

Argumen kosmologis (cosmological argument) –yang oleh Immanuel Kant dikatakan sebagai suatu argumen yang sangat dikagumi dan merupakan salah satu dalil terkuat mengenai wujud Pencipta (Prime Cause)– merupakan salah satu argumentasi Al-Quran untuk maksud tersebut. Bukankah juga penolakan Al-Quran terhadap syirik (politeisme) meliputi segala macam dan bentuk politeisme yang telah timbul, termasuk yang dianut oleh orang-orang Arab ketika turunnya Al-Quran?

Dapat diperhatikan pula, bahwa tiada satu filsafat pun yang memaparkan perincian-perinciannya dari A sampai Z dalam bentuk abstrak tanpa memberikan contoh-contoh hidup dalam masyarakat tempat ia muncul atau berkembang. Cara yang demikian ini tidak mungkin akan mewujud; kalau ada, maka ia hanya sekadar merupakan teori-teori belaka yang tidak dapat diterapkan dalam suatu masyarakat.

Tidakkah menjadi keharusan satu gerakan yang bersifat universal untuk memulai penyebarannya di forum internasional. Tapi, cara paling tepat adalah menyebarkan ajaran-ajarannya dalam masyarakat tempat timbulnya gerakan itu, dimana penyebar-penyebarnya mengetahui bahasa, tradisi dan adat-istiadat masyarakat tadi. Kemudian, bila telah berhasil menerapkan ajaran-ajarannya dalam suatu masyarakat tertentu, maka masyarakat tersebut dapat dijadikan “pilot proyek” bagi masyarakat lainnya. Hal ini dapat kita lihat pada Fasisme, Zionisme, Komunisme, Nazisme, dan lain-lain. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa ajaran-ajaran Al-Quran itu khusus untuk masyarakat pada masa diturunkannya saja.
Tujuan Pokok Al-Quran

Dari sejarah diturunkannya Al-Quran, dapat diambil kesimpulan bahwa Al-Quran mempunyai tiga tujuan pokok:
Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.
Petunjuk mengenal syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Atau dengan kata lain yang lebih singkat, “Al-Quran adalah petunjuk bagi selunih manusia ke jalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.”

Sejarah Peradaban Islam

A. SEBELUM KEMERDEKAAN


Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriyah atau abad ke tujuh sampai abad ke delapanmasehi. Ini mungkin didasarkan kepada penemuan batu nisan seorang wanita muslimah yang bernama Fatimah binti Maimun dileran dekat Surabaya bertahun 475 H atau 1082 M. Sedang menurut laporan seorang musafir Maroko Ibnu Batutah yang mengunjungi Samudera Pasai dalam perjalanannya ke negeri Cina pada tahun 1345 M. Agama islam yang bermahzab Syafi’I telah mantap disana selama se abad, oleh karena itu berdasarkan bukti ini abad ke XIII di anggap sebagai awal masuknya agama islam ke Indonesia.

Daerah yang pertama-pertama dikunjungi ialah :
Pesisir Utara pulau Sumatera, yaitu di peureulak Aceh Timur, kemudian meluas sampai bisa mendirikan kerajaan islam pertama di Samudera Pasai, Aceh Utara.
Pesisir Utara pulau Jawa kemudian meluas ke Maluku yang selama beberapa abad menjadi pusat kerajaan Hindu yaitu kerajaan Maja Pahit.


Pada permulaan abad ke XVII dengan masuk islamnya penguasa kerajaan Mataram, yaitu: Sultan Agung maka kemenangan agama islam hampir meliputi sebagai besar wilayah Indonesia.

Sejak pertengahan abad ke XIX, agama islam di Indonesia secara bertahap mulai meninggalkan sifat-sifatnya yang Singkretik (mistik). Setelah banyak orang Indonesia yang mengadakan hubungan dengan Mekkah dengan cara menunaikan ibadah haji, dan sebagiannya ada yang bermukim bertahun-tahun lamanya.

Ada tiga tahapan “masa” yang dilalui atau pergerakan sebelum kemerdekaan, yakni :

1. Pada Masa Kesultanan

Daerah yang sedikit sekali disentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha adalah daerah Aceh, Minangkabau di Sumatera Barat dan Banten di Jawa. Agama islam secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama, social dan politik penganut-penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut agama islam itu telah menunjukkan dalam bentuk yang lebih murni. Dikerajaan tersebut agama islam tertanam kuat sampai Indonesia merdeka. Salah satu buktinya yaiut banyaknya nama-nama islam dan peninggalan-peninggalan yang bernilai keIslaman.

Dikerjaan Banjar dengan masuk islamnya raja banjar. Perkembangan islam selanjutnya tidak begitu sulit, raja menunjukkan fasilitas dan kemudahan lainnya yang hasilnya membawa kepada kehidupan masyarakat Banjar yang benar-benar bersendikan islam. Secara konkrit kehidupan keagamaan di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya Mufti dan Qadhi atas jasa Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang Fiqih dan Tasawuf.

Islam di Jawa, pada masa pertumbuhannya diwarnai kebudayaan jawa, ia banyak memberikan kelonggaran pada sistem kepercayaan yang dianut agama Hindu-Budha. Hal ini memberikan kemudahan dalam islamisasi atau paling tidak mengurangi kesulitan-kesulitan. Para wali terutama Wali Songo sangatlah berjasa dalam pengembangan agama islam di pulau Jawa.

Menurut buku Babad Diponegoro yang dikutip Ruslan Abdulgani dikabarkan bahwa Prabu Kertawijaya penguasa terakhir kerajaan Mojo Pahit, setelah mendengar penjelasan Sunan Ampel dan sunan Giri, maksud agam islam dan agama Budha itu sama, hanya cara beribadahnya yang berbeda. Oleh karena itu ia tidak melarang rakyatnya untuk memeluk agama baru itu (agama islam), asalkan dilakukan dengan kesadaran, keyakinan, dan tanpa paksaan atau pun kekerasan.


2. Pada Masa Penjajahan

Dengan datangnya pedagang-pedagang barat ke Indonesia yang berbeda watak dengan pedagang-pedagang Arab, Persia, dan India yang beragama islam, kaum pedagang barat yang beragama Kristen melakukan misinya dengan kekerasan terutama dagang teknologi persenjataan mereka yang lebih ungggul daripada persenjataan Indonesia. Tujuan mereka adalah untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan islam di sepanjang pesisir kepulauan nusantara. Pada mulanya mereka datang ke Indonesia untuk menjalin hubungan dagang, karena Indonesia kaya dengan rempah-rempah, kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut.

Waktu itu kolonial belum berani mencampuri masalah islam, karena mereka belum mengetahui ajaran islam dan bahasa Arab, juga belum mengetahui sistem social islam. Pada tahun 1808 pemerintah Belanda mengeluarkan instruksi kepada para bupati agar urusan agama tidak diganggu, dan pemuka-pemuka agama dibiarkan untuk memutuskan perkara-perkara dibidang perkawinan dan kewarisan.

Tahun 1820 dibuatlah Statsblaad untuk mempertegaskan instruksi ini. Dan pada tahun 1867 campur tangan mereka lebih tampak lagi, dengan adanya instruksi kepada bupati dan wedana, untuk mengawasi ulama-ulama agar tidak melakukan apapun yang bertentangan dengan peraturan Gubernur Jendral. Lalu pada tahun 1882, mereka mengatur lembaga peradilan agama yang dibatasi hanya menangani perkara-perkara perkawinan, kewarisan, perwalian, dan perwakafan.

Apalagi setelah kedatangan Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan Pribumi dan Arab, pemerintahan Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan mengenai masalah islam di Indonesia, karena Snouck mempunyai pengalaman dalam penelitian lapangan di negeri Arab, Jawa, dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang dikenal dengan politik islamnya. Dengan politik itu, ia membagi masalah islam dalam tiga kategori :

Bidang agama murni atau ibadah

Pemerintahan kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat islam untuk melaksanakan agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.

Bidang sosial kemasyarakatan

Hukum islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan adapt kebiasaan.
Bidang politik

Orang islam dilarang membahas hukum islam, baik Al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan dan ketata negaraan.


3. Pada Masa Kemerdekaan

Terdapat asumsi yang senantiasa melekat dalam setiap penelitian sejarah bahwa masa kini sebagian dibentuk oleh masa lalu dan sebagian masa depan dibentuk hari ini. Demikian pula halnya dengan kenyataan umat islam Indonesia pada masa kini, tentu sangat dipengaruhi masa lalunya.

Islam di Indonesia telah diakui sebagai kekuatan cultural, tetapi islam dicegah untuk merumuskan bangsa Indonesia menurut versi islam. Sebagai kekuatan moral dan budaya, islam diakui keberadaannya, tetapi tidak pada kekuatan politik secara riil (nyata) di negeri ini.

Seperti halnya pada masa penjajahan Belanda, sesuai dengan pendapat Snouck Hurgronye, islam sebagai kekuatan ibadah (sholat) atau soal haji perlu diberi kebebasan, namun sebagai kekuatan politik perlu dibatasi. Perkembangan selanjutnya pada masa Orde Lama, islam telah diberi tempat tertentu dalam konfigurasi (bentuk/wujud) yang paradoks, terutama dalam dunia politik. Sedangkan pada masa Orde Baru, tampaknya islam diakui hanya sebatas sebagai landasan moral bagi pembangunan bangsa dan negara.


B. SESUDAH KEMERDEKAAN


1. Pra Kemerdekaan

Ajaran islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan begitu saja. Berdasarkan pengalaman melawan penjajah yang tak mungkin dihadapi dengan perlawanan fisik, tetapi harus melalui pemikiran-pemikiran dan kekuatan organanisasi. Seperti :

- Budi Utomo (1908) - Taman Siswa (1922)

- Sarikat Islam (1911) - Nahdhatul Ulama (1926)

- Muhammadiyah (1912) - Partai Nasional Indonesia (1927)

- Partai Komunis Indonesia (1914)

Menurut Deliar Noer, selain yang tersebut diatas masih ada organisasi islam lainnya yang berdiri pada masa itu, diantaranya:

- Jamiat Khair (1905)

- Persyarikatan Ulama ( 1911)

- Persatuan Islam (1920)

- Partai Arab Indonesia (1934)


Organisasi perbaharu terpenting dikalangan organisasi tersebut diatas, adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan, dan Nadhatul Ulama yang dipelopori oleh K.H Hasyim Asy’ari.

Untuk mempersatukan pemikiran guna menghadapi kaum penjajah, maka Muhammadiyah dan Nadhatul Ulama bersama-sama menjadi sponsor pembentukan suatu federasi islam yang baru yang disebut Majelis Islan Ala Indonesia ( Majelis Islam Tertinggi di Indonesia ) yang disingkat MIAI, yang didirikan di Surabaya pada tahun 1937.

Masa pemerintahan Jepang, ada tiga pranata sosial yang dibentuk oleh pemerintahan Jepang yang menguntungkan kaum muslim di Indonesia, yaitu :


a. Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama yang menggantikan Kantor Urusan Pribumi zaman Belanda, yang dipimpin oleh Hoesein Djayadiningrat pada 1 Oktober 1943.

b. Masyumi, ( Majelis Syura Muslimin Indonesia ) menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan oktober 1943, Tujuan didirikannya adalah selain untuk memperkokohkan Persatuan Umat Islam di Indonesia, juga untuk meningkatkan bantuan kaum muslimin kepada usaha peperangan Jepang.

c. Hizbullah, ( Partai Allah atau Angkatan Allah ) semacam organisasi militer untuk pemuda-pemuda muslimin yang dipimpin oleh Zainul Arifin. Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).


2. Pasca Kemerdekaan

Organisasi-organisasi yang muncul pada masa sebelum kemerdekaan masih tetap berkembang di masa kemerdekaan, seperti Muhammadiyah, Nadhatul Ulama, Masyumi dan lain lain. Namun ada gerakan-gerakan islam yang muncul sesudah tahun 1945 sampai akhir Orde Lama. Gerakan ini adalah DI/TII yang berusaha dengan kekerasan untuk merealisasikan cita-cita negara islam Indonesia.

Gerakan kekerasan yang bernada islam ini terjadi diberbagai daerah di Indonesia diantaranya :

- Di Jawa Barat, pada tahun 1949 – 1962

- Di Jawa Tengah, pada tahun 1965

- Di Sulawesi, berakhir pada tahun 1965

- Di Kalimantan, berakhir pada tahun 1963

- Dan di Aceh, pada tahun 1953 yang berakhir dengan kompromi pada

tahun 1957

Asal Usul Agama Islam

Asal Usul Islam



Untuk memperolehi pengertian yang sebenar tentang asal usul Islam, kita perlu mengetahui akan keadaan Arab sebelum adanya Islam, akan diri Muhamad, dan akan sejarah awal Islam. Walaupun arkeologi, Al Quran dan Hadith mengandungi catatan yang banyak tentang perkara ini, ramai orang mungkin tidak sedar tentangnya.



MEKAH SEBELUM MUHAMAD



Pernahkah anda bayangkan akan keadaan Mekah sebelum kelahiran Muhamad? Kota Mekah, pada ketika itu, sememangnya merupakan kota yang sangat menarik kerana kota itu merupakan pusat perdagangan dan juga tempat tumpuan pelbagai kaum dengan budaya yang berbeza. Para pedagang di sana juga menganuti pelbagai agama. Kaum Quraysh di sana memuja Hubal, Al-ilah, dan tiga anak perempuan Al-ilah. Sebuat batu hitam yang berasal dari surga sangat disanjungi dan ditempatkan di satu sudut dalam Kaabah. Kaabah ini merupakan pusat pemujaan 360 berhala (Bukhari jilid 3, buku 43, bab 33, no. 658, hal.396 dan Bukhari jilid 5, buku 59, bab 47, no. 583 ,hal. 406). Ensiklopedia Islam (edisi Eliade, hal. 303ff) ada mengatakan bahawa sebelum adanya Islam, orang sudah bersembahyang lima waktu sehari dengan menghadap ke Mekah dan berpuasa selama setengah hari bagi sebulan penuh. Kaum Quraysh pula berpuasa pada setiap 10 Muharram. Muhamad pernah memerintahkan agar pengikut-pengikutnya mengamalkan amalan yang sama, namun kemudian amalan ini tidak diwajibkan (Bukhari jilid 5, buku 58, bab 25, no. 172, hal.109 dan Bukhari jilid 6, buku 60, bab 24, no. 31, hal. 25).

Sebelum adanya Islam, orang Arab sudah menaikkan haji ke Mekah. Fiqh us-Sunnah jilid 5, hal.122 dan Bukhari jilid 2, buku 26, bab 33, no. 635, hal. 371-372 ada mencatatkan bahawa, pada zaman itu, orang Arab yang tidak menaikkan haji dianggap telah melakukan dosa terbesar di dunia ini. Di Mekah, sebelum adanya Islam, mereka sudah menutupi Kaabah dengan kain (Fiqh jilid 5, hal. 131) dan mereka juga sudah mempunyai bulan suci yang tidak membenarkan peperangan dalam jangka masa itu (Bukhari jilid 2, buku 23, bab 96, no. 482, hal. 273).



ASAL USUL KATA “ALLAH”



Umumnya, kata “Allah” ialah kata singkatan dalam bahasa Arab bagi kata Al-ilah, yang bererti “Tuhan”. Baik orang Kristian Arab ataupun penyembah berhala juga menggunakan kata Ilah untuk Tuhan. Al-Kitab bahasa Arab dan bahasa Indonesia masa kini juga menggunakan kata “Allah“ untuk Tuhan. Dahulu, kata dalam bahasa Timur Tengah yang agak serupa yakni kata el membawa erti “tuhan”, baik digunakan untuk Tuhan yang benar atau berhala, dalam bahasa Ugaritik, bahasa Kanaan dan bahasa Ibrani. Sebelum Muhamad, Kaabah yang menempatkan para 360 berhala itu disebut Bait Allah atau “rumah Allah“. Ayah Muhamad yang meninggal sebelum Muhamad dilahirkan itu bernama “Abdullah” yang bererti hamba Allah. Tambahan juga, salah satu suku bangsa Yahudi digelar “Abdullah bin Salam” dalam Bukhari jilid 5, buku 59, bab 13, no. 362, hal. 241.

Khususnya, antara berhala yang dipuja di Mekah, salah satu berhala digelar “Allah”. Berhala ini ialah dewa bagi kaum Quraysh, dan dewa ini mempunyai tiga anak perempuan. Jika dibandingkan empat daripada lima rukun Islam, orang Mekah sebelum Muhamad juga berpuasa pada hari yang sama, memberi sedekah kepada kaum sendiri yang miskin papa, bersolat menghadap ke Mekah, dan menaikkan haji ke Mekah. Walaupun ada juga perbezaan yang banyak antara agama Islam dengan penyembahan berhala kaum Ouraysh, agak hairannya ialah adanya kesinambungan amalan-amalan Islam ini dengan kebiasaan penyembahan berhala kaum Quraish.

Bahagian berikut akan menunjukkan bahawa, seperti dewa utama Yunani Zeus yang berasal daripada kata umum untuk Tuhan (theos), perkara yang sama juga terjadi dengan orang Arab sebelum adanya Islam.



PARA PEMUJA ALLAH



Ramai orang primitif menyembah dewa matahari dan dewi bulan. Adalah luar biasa bagi orang Arab yang tinggal di sebelah Barat memuja dewa bulan dan isterinya, dewi matahari. Terdapatnya patung-patung pra-Islam yang merupakan simbol dewa bulan tersebut, yakni bulan sabit. Bulan sabit ini sama seperti bulan sabit Shi’ite orang islam, kecuali bulan sabit Shi’ites ditambahkan sebutir bintang kecil. Menurut Ensiklopedia Islam hal. 303, orang Yaman/ orang Sabaean juga mempunyai dewa bulan. Kaum Quraysh mungkin memperolehi berhala ini daripada mereka.

Seperti yang telah dikatakan, Allah mempunyai tiga anak perempuan yang dinamakan Lat, Uzza dan Manat. Pada suatu ketika, “nabi Allah” telah berkompromi dan mengatakan dalam Al Quran (Sura 53:19) bahawa “doa perantaraan mereka sangat diharapkan”. Dengan kata lain, dia mengatakan bahawa kita harus mengharapkan bantuan daripada tiga berhala ini.

Pengikut-pengikut Muhamad pasti terkejut ketika dia mengatakan hal ini. Kemudian, Muhamad pula berubah fikirannya dan berkata bahawa Iblis telah menipunya. Oleh sebab kesalahan telah dibuat, ayat-ayat ini “dimansuhkan“ atau dibuang. Ayat-ayat ini sering disebut “ayat Iblis“. Agak menarik untuk membaca bahawa Allah mempunyai “ayat-ayat yang dimansuhkan“ dalam Sura 13:39, Sura 16:101 dan Sura 2:106; padahalnya, Sura 41:37 ada menyebutkan bahawa pemuja dewa matahari dan dewi bulan tidak dibenarkan.

Ringkasnya, Mekah pada masa Muhamad merupakan kota yang sangat kosmopolitan. Orang Sabaean, suku bangsa Muhamad dan kaum Quraysh menyembah dewa bulan, bernama Al-ilah atau Allah, dan tiga anak perempuannya. Al Quran mengajar untuk tidak menyembah berhala, namun orang cendekiawan Islam mengakui bahawa Muhamad asalnya telah menyisipkan ayat-ayat yang mengatakan bahawa doa perantaraan ketiga anak perempuan Allah sangat diharapkan.

MUHAMAD SEORANG SUAMI



Sura 4:3 mengatakan bahawa orang lelaki boleh mempunyai paling banyak empat orang isteri, tetapi Sura 33:50 membenarkan pengecualian kepada Muhamad. Menurut cendekiawan Islam Ali Dashti, berikut ialah isteri-isteri dan gundik-gundik Muhamad:

1. Khadijah bt. Khuwailjd (yang pertama meninggal)

2. Saudah bt. Zam’ah

3. Aisyah bt. Abu Bakar (berumur 8-9 tahun)

4. Ummu Salamah Hindun bt. Abi Umaiyah

5. Hafsah bt. Umar

6. Zainab bt. Jahsyin

7. Juwairiyah bt. Harith (orang tahanan)

8. Umm Habibah Ramlah bt. Abi Sufian

9. Safiyah bt. Huyay (orang tahanan)

10. Maimunah bt. al-Harith

11. Fatimah (untuk jangka waktu yang singkat)

12. Hind (janda)

13. Asma bt. Saba

14. Zaynab bt. Khuzaima

15. Habla

16. Asma' bt. al-Nu'man

17. Maria al-Qibtiyya (orang Kristian)

18. Raihanah bt. Zaid (perhubungan yang tidak jelas)

19. Umm Sharik

20. Maimuna

21. Zainab bt. Khewalid

22. Khawla bt. Hakim

Muhamad menikahi Safiyah setelah membunuh suaminya dan orang kaum Banu Quraiza (Bukhari jilid 2, buku 14, bab 5, no. 68, hal.35, Bukhari jilid 4, buku 52, bab 74, no.143, hal.92, dan Bukhari jilid 4, buku 52, bab 168, selepas no. 280, hal.175-176).



Sememangnya wujud masalah yang sungguh mengelisahkan di Arab Saudi kerana wanita asing yang pergi ke sana sebagai pembantu rumah secara paksa digunakan sebagai hamba seks. Walaubagaimanapun, anda tidak dapat menuduh orang lelaki Arab Saudi yang melakukan perkara kutut ini sebagai munafik. Sesuai dengan tradisi agama mereka, memaksa hamba wanita untuk melakukan seks adalah diterima dari segi moral (lihat Bukhari jilid 3, buku 34 bab 111, no. 432, hal.237; Bukhari jilid 3, buku 34, bab113, selepas no. 436, hal. 239-240; Bukhari jilid 5, buku 59, bab 31, no. 459, hal. 317; Bukhari jilid 8, buku 76, bab 3, no. 600, hal. 391; Sahih Muslim jilid 2 buku 8, bab 560, no. 3571, hal. 732-733).

London Economist (6 Jan 1990) melaporkan bahawa orang Islam di Sudan menghambakan wanita dan anak-anak suku Dinka. Edisi Khas Newsweek pada 4 Mei 1992 tentang perhambaan juga melaporkan bahawa orang Islam masih menghambakan kaum berkulit hitam, seperti juga yang dilaporkan dalam Austin American Statesman pada 2 Februari 1996. Artikel dalam Readers Digest 3/1996 hal.77-81 yang bertajuk “Amalan penghambaan yang memalukan kembali ke Africa” adalah satu berita penindasan yang menyedihkan.



MUHAMAD SEORANG YANG MAKMUR



Muhamad bersama dengan orangnya merampas daripada para kafilah. Bukhari jilid 3, buku 37, bab 8, no. 495, hal. 280 mengatakan bahawa ”Ketika Allah membuat nabi-nabiNya kaya melalui penaklukan…”1/5 daripada barang rampasan dimasukan dalam perbendaharaan, dan Sahih Muslim jilid 2, buku 5, bab 401, no. 2348, hal. 519 mengatakan bahawa seluruh keluarga Muhamad mendapat sebahagian daripada hasilnya. Perampasan orang Islam pertama dikenali sebagai Serangan Nakhla. Semasa bulan suci, pengikut-pengikut Muhamad membuat serangan hendap terhadap sebuah karavan dengan para kafilahnya, membunuh seorang daripada mereka dan menjadikan yang lain hamba, dan merampas barangan mereka. Muhamad sendiri juga ikut memimpin serangan yang kedua di Badr. Muhamad menambah kekayaannya dengan menyerang pertempatan orang Yahudi di Khaibar. Dia dan pengikut -pengikut setianya juga mendapatkan barang rampasan dan isteri-isteri (Muhamad memerlukan isteri lagi?) daripada 700-1.000 orang Yahudi suku bangsa Banu Quraiza yang dipenggal kepala oleh Muhamad dan pengikut-pengikutnya setelah orang Yahudi ini menyerahkan diri.



MUHAMAD SEORANG PENDOSA



Ketika Alkitab mengatakan bahawa Yesus (Isa) adalah tanpa dosa, di sini akan diterangkan perkara yang dikatakan oleh Quran dan Bukhari Hadith tentang Muhamad. Dalam Sura 40:55 dan 48:1-2 Allah berkata kepada Muhamad untuk meminta ampun atas dosa (atau kelemahan) yang telah dibuatnya. Sekarang, orang tidak perlu meminta ampun atas kelemahan fizikalnya, namun atas kelemahan moralnya. Sahih Muslim jilid 1, buku 4, bab 268, no.1695, hal. 373 mengatakan bahawa Muhamad berdoa, ”Saya merasa bersalah dan mengakui dosa saya. Ampunilah seluruh dosa saya…” Bukhari jilid 1, buku 2, bab.13, no.19, hal. 23; Bukhari jilid 1, buku 12, bab 57, no. 781, hal. 434; Bukhari jilid 6, buku 60, bab 3, no. 3, hal. 4; Bukhari jilid 8, buku 75, bab 3, no, 319, hal. 213 dan Bukhari jilid 8, buku 75, bab 62 sebelum no. 407, hal.271 juga menyebut tentang dosa-dosa Muhamad. Hal yang lebih terperinci tentang dosa-dosa Muhamad juga disebutkan dalam Bukhari jilid 1, buku 4, bab 70, no. 234, hal. 147-148; Bukhari jilid 8, buku 82, bab 1, no. 794-795, hal. 520, yakni tercatat bahawa dia memotong lengan dan kaki orang, membakar mata mereka, dan membuat mereka mati kehausan setelah lengan dan kaki mereka dipotong (lihat juga Bukhari jilid 8, buku 82, bab 3, no. 796, bab 4, hal. 797; Bukhari jilid 6, bab 150 sebelum no.198, hal.158-159).

Anda mungkin akan setuju bahawa perkara-perkara yang dilakukan oleh Muhamad adalah dosa yang besar. Oleh sebab Muhamad telah melakukan dosa-dosa ini, lalu dia memang sangat perlu meminta pengampunan. Persoalan ialah: “Siapakah yang menebus dosamu?“ Yesus mengatakan bahawa Dialah yang membayar untuk menebus dosa kita. Islam tidak mengajarkan bahawa baik Allah ataupun Muhamad yang akan menebus dosa. Bagaimana dosamu akan ditebus, atau adakah Allah membenarkan sesuatu dosa dan tidak membenarkan dosa yang lain?



Sesetengah orang mungkin berpendapat bahawa dosa boleh dilakukan selagi orang itu mengakui dirinya orang Islam. Orang Islam pada abab ini membunuh orang Kristian dan melakukan pembunuhan besar-besaran di seluruh desa-desa di Sudan, Nigeria, dan Indonesia. Ketika orang yang disebut Kristian membunuh orang Islam, orang akan berpendapat bahawa orang Kristian tersebut telah melawan sifat Kristus. Ketika orang Islam membunuh orang Kristian, yang menyembah Allah yang Sejati, saya tidak pernah mendengar orang mengatakan bahawa orang Islam tersebut melawan sifat Muhamad.

Maafkan saya kerana terlalu berterus-terang, namun tindakan orang Islam membunuh orang yang menyembah Allah harusnya berhenti. Ketika orang Islam cuba menjustifikasikan tindakan pembunuhan mereka kerana nabi mereka (Muhamad) juga melakukan hal ini, maka orang lain akan mempunyai syak wasangkan tentang nabi mereka, Allah mereka yang memansuhkan kata sendiri , dan asal usul Islam.



PERTIMBANGKAN NABI YANG TANPA DOSA



Sebalik Muhamad, ada seorang Nabi yang:

· menyatakan Dirinya sebagai nabi Allah,

· menggenapkan segala ramalan dan maksud,

· tidak pernah diampuni kerana memang tidak pernah berdosa,

· tidak pernah membunuh atau mengancam nyawa orang lain

· mempunyai standard moral yang sangat tinggi (tidak pernah membenarkan seks secara paksaan),

· berjanji untuk membayar tebusan atas dosamu,

· menderita dan mati untukmu,

· tidak mempunyai kubur, kerana dia telah bangkit dari kematiannya

Yang kita sebutkan di sini ialah Yesus Kristus (Isa Al-Masih). Orang Kristian tidak perlu berkata kepada Yesus bahawa: “semoga damai Allah menyertaiNya (Yesus)“, kerana Yesuslah Raja Damai itu sendiri; dan damai Allah sudah dan akan selama-lamanya bersama dengan Yesus. Lebih daripada itu, harapan saya ialah anda akan menemukan damai Kristus dan kasihNya supaya damai dan kasih Kristus ini sentiasa hidup dalam hatimu.


Copyright 2009 ~AMEGA~. All rights reserved.
Bread Machine Reviews | watch free movies online by Blogger Templates